Ayah

Jika saya ditanya seberapa besar cinta saya pada Ayah saya, sudah pasti saya tidak bisa menjawab dalam suatu % maupun angka tunggal. Banyak quote membahas tentang seorang anak perempuan yang menganggap Ayahnya adalah cinta pertamanya, bahwa Ayah adalah pahlawan pertamanya, bahwa setidaknya ada 1 orang lelaki di dunia ini yang tidak akan menyakiti kita.. yaitu Ayah.

Saya sangat sayang pada Ayah saya. Entah sudah berapa lama beliau tidak bersama saya. Sudah tidak terhitung hari, saya rasa.

Semenjak remaja hingga lebaran tahun 2014, Ayah memeluk saya hanya 1 kali. Tidak percaya, bukan? Namun memang kenyataan yang ada, seperti itu. Ketika saya tidak lolos seleksi perguruan tinggi negeri kala itu, Ayah memeluk saya dengan erat dan berkata, "Nggak apa-apa. Ayah tetep bangga sama kakak. Ayah tetep sayang sama kakak. Ayah tau kakak pinter, Ayah tau kakak bisa jadi yang terbaik. Ayah gak kecewa sama kakak. Ayah tau kok kalo kakak udah berusaha keras. Ayah tau (saya langsung nangis karna kecewa pada diri sendiri, saat itu). Sudah nggak usah dipikirkan lagi. Sekarang coba cari perguruan tinggi lainnya, yang didekat rumah. Sudah ya kak, gak usah sedih lagi"

Ayah saya bernama Iqbal Adriansyah. Beliau adalah satu-satunya orang yang berjanji pada saya bahwa beliau akan menjadikan saya seseorang bergelar Master dan akan sukses dalam karir jika memang saya pandai mengatur waktu untuk memperbaiki kemampuan berbahasa asing dan meningkatkan tingkat keseriusan saya dalam beribadah guna memohon bimbingan Allah swt dalam tiap langkah ini.

Ayah, sejak saya dilahirkan oleh Mama.. kami tidak pernah berpisah. Kami sekeluarga selalu tinggal bersama dalam sebuah rumah. Dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, semasa saya masih SMA, saya, mama dan adik-adik menjalani Long Distance Relationship dengan Ayah. Beliau seorang karyawan swasta yang sedang ditugaskan di Jakarta. Sementara saya, mama dan adik-adik saya tinggal di Surabaya. Dan selama 3 tahun, tiap hari Jum'at malam Ayah selalu ke Surabaya dan kembali ke Jakarta pada hari Senen pagi sehingga Ayah langsung bisa melanjutkan perjalanan ke kantor pagi itu juga. Siklusnya seperti itu terus, Reader. Selama 3 tahun, Ayah 'banting tulang' demi bertemu dengan kami. Saya tahu bagaimana lelahnya Ayah menjalani hal tersebut. Saya tahu alasan mengapa Ayah rela pulang-pergi Jakarta Surabaya setiap akhir pekan, yaitu karna Ayah ingin bertemu dengan anak-anak dan istrinya. Selama 3 tahun itu, kami selalu merasa sepi jikalau akhir pekan belum tampak, kami selalu rindu akan Ayah. Ayah selalu menghibur kami dengan petikan gitar yang selalu membuat kami yang mendengarkan, jatuh cinta. Ayah selalu memberi semangat pada saya dan adik-adik ketika nilai rapor kami tidak sebagus nilai rapor semester lalu, dan sebagainya.

Ayah merupakan seseorang yang sangat berarti bagi saya. Selain Mama, memang hanya Ayah lah orangnya. Ayah adalah idola saya sedari kecil. Bagi saya, Ayah seperti Ibu Peri yang selalu memberikan apapun. Saya tau bahwa Ayah sangat menyayangi saya, maka dari itu apapun yang saya minta selalu dituruti oleh Ayah saya (kecuali izin pacaran sebelum saya berusia 16 tahun)

Saya ingat betul saat itu hari Jum'at. Hari dimana hari terakhir saya dibonceng oleh Ayah saya. Begini ceritanya..

Pagi itu, tumben sekali Ayah minta ditemani jogging di UI. Tidak biasanya. Dan for your information, Ayah baru selesai opname pada hari Rabu. Jadi terhitung baru 2 hari setelah Ayah dinyatakan boleh tidak di Rumah Sakit lagi, Ayah langsung ingin jogging. Saya mengiyakan..

Saya benar-benar lupa akan tidak mengisi bensin pada motor saya dihari sebelumnya dan Ayah cukup sebal dengan hal tersebut. Sehingga Ayah memaksa untuk menyetir motor. Saya agak ragu, karna selama perjalanan ke SPBU dan ke UI, Ayah menyetir motor dengan tidak tegas (read: menyetir seperti orang mengantuk, kekanan namun tiba tiba ke kiri lalu saat tikungan, respon Ayah berkurang dalam menyetir. Entah apa yang terjadi..). Saya khawatir akan kesehatan Ayah, jadi saya bertanya apakah Ayah tidak masalah jika terus menyetir? Ayah berkata, iya Ayah tidak apa-apa.

Singkat cerita, kami tiba di lokasi jogging dekat Rektor UI.  Dan saya tidak ikut jogging dengan Ayah karna saya sibuk Path-an. Sementara Ayah dengan semangatnya yang membara jogging dengan sekuat tenaga selama 2 putaran. Yaa walau bisa dibilang Ayah hanya lari-lari kecil namun saya yakin hal itu bisa memberi pengaruh positif untuk kesehatan Ayah.

Saya ingat betul bagaimana wajah Ayah saat itu. Mata sayu, keseimbangan berkurang, dan keringat beliau yang lebih banyak jika dibandingkan dengan saat jogging di masa lampau. Ayah yang tiap 5 langkah jogging, minum. Ayah yang mencoba berteriak padaku untuk meminta tolong dihitungkan sudah berapa menit Ayah jogging, dan hal sepele lainnya namun cukup membuat saya tidak pernah lupa akan moments tersebut.

Sesampainya dirumah, Ayah tidur-duduk-tidur ditempat tidur dikamar utama. Serambi sesekali menonton televisi bersama kami, Ayah hanya terdiam dan jarang tertawa. Tumben.

Adzan maghrib berkumandang, seperti biasa.. kami bergegas mengambil air wudhu namun Ayah berkata tidak akan menjadi imam shalat kami lagi. Saya diam terpaku dan berusaha mencerna apa maksud dari perkataan Ayah tersebut.. dan seketika itu juga Ayah berbisik pada Mama, "Kalau ada apa-apa, tidak perlu panik dan khawatir". Beberapa menit kemudian Ayah batuk darah dan situasi dirumah saat itu menjadi sangat genting karena Ayah terkena serangan stroke. Wajah dan sistem saraf Ayah tidak berfungsi 50%. Apakah Reader ingin mengetahui bagaimana perasaan saya saat itu? Tidak karuan. 99% sedih dan sisanya berfikir bahwa akan ada hal buruk yang terjadi. Ternyata benar, dokter di UGD Rumah Sakit dekat rumah berkata bahwa Ayah terkena serangan stroke ringan. Ayah tidak bisa berbicara dengan jelas lagi, Ayah tidak bisa memberi lelucon lagi, Ayah tidak bisa tersenyum lagi.

Saat ini saya menangis, Reader. Entah mengapa acap kali saya mengingat Ayah.. saya selalu menangis dan menangis. Walaupun ada Mama, namun sosok Ayah berbeda 180 derajat dengan Mama. Saya amat merindukan Ayah.

... Ayah tidak bisa tersenyum lagi, dan melakukan hal-hal menghibur lainnya. Ayah kami yang selama ini berjuang keras untuk 'mengundang' anak-anaknya dengan trik sulap, game terbaru, video lucu, sukses memetik senar gitar dengan lagu klasik yang syahdu. Semua itu Ayah lakukan agar kami menghampirinya dan tidak sibuk dengan gadget masing-masing. Ayah, aku sayang Ayah.

Ayah, aku sangat menyayangimu.

Ayah harus menginap di ruang NCU di Rumah Sakit tersebut untuk mendapatkan pengobatan dan perhatian ekstra dari tim medis. Selama beberapa hari disana, kesehatan Ayah tidak menunjukkan peningkatan yang berarti.

Ayah saya adalah seorang perokok, hobi minum kopi hitam (walau setengah sachet tiap minum), dan tidak pernah merasa lelah saat melakukan aktivitas apapun. Ayahku adalah orang yang serba bisa. Ayah bisa menjahit, memasak, bernyanyi, bermain gitar, bermain keyboard / piano, bermain suling, cakap berbahasa Inggris, dan memimpin karyawan lainnya namun tidak bersikap bossy tetapi lebih ke arah santai tetapi tetap fokus pada target. Begitulah Ayah.

...Selama beberapa hari disana, kesehatan Ayah tidak menunjukkan peningkatan yang berarti. Ayah ditangani oleh 3 dokter, yaitu dokter spesialis jantung, stroke (saya lupa disebut dengan spesialis apa), dan paru-paru. Dihari terakhir ayah dirawat di Rumah Sakit tersebut, kami pihak keluarga diberi hasil rontgen, dan hasil rontgen tersebut menyatakan bahwa paru-paru ayah terlihat berkabut dan jantungnya ayah sedikit lebih berusaha untuk tetap memompa darah. Sementara itu, stroke yang diderita Ayah tidak kunjung membaik. Tiap pagi saat saya datang berkunjung ke ruang NCU, Ayah selalu tersenyum dan mengedip-ngedipkan mata seolah mengajak saya untuk bercanda. Senyum 'sebelah' pun Ayah tunjukkan acap kali ada yang berkunjung. Ingin rasanya menangis melihat kondisi Ayah yang seperti itu, ingin rasanya menggantikan posisi Ayah yang sedang sakit, ingin rasanya terus melarang Ayah untuk tidak merokok dengan cara membuang rokok yang baru saja dibeli oleh beliau, dan ingin rasanya saya selalu memeluk Ayah saat beliau merokok dan berkata, "Ayah, aku gak mau kehilangan Ayah. Maaf rokoknya Ayah aku buang. Maaf Ayah aku betein terus tiap ngerokok. Maaf ya Ayah kalo nggak aku terlalu menanggapi obrolan saat Ayah mengajak ngobrol tetapi Ayah sedang merokok. Aku tuh cuma nggak mau kehilangan Ayah. Ayah tolong berhenti merokok sekarang juga". Namun, semua keinginan tersebut sirna karna kini kami hanya bertemu didalam mimpi saja.

Pada hari Senin saat adzan Maghrib berkumandang, Ayah dirujuk ke ruang ICU Rumah Sakit Siloam TB. Simatupang, Jakarta. Dan sejak saat itu, saya dan adik-adik hanya bisa bertemu dengan ayah pada hari Jum'at, Sabtu dan Minggu. Jadwal besuknya pun tidak sebebas jadwal besuk di Rumah sakit sebelumnya. Dan FYI, ruang ICU adalah ruangan paling seram yang pernah ada. Karena memang disanalah banyak sekali pasien yang sakit parah dengan stadium (yang sudah pasti) teratas. Tiap kali melangkah untuk ke ranjang rawat Ayah, suara monitor yang menunjukkan detak jantung, nadi, si pasien (disebut apakah itu?) selalu terngiang. Hal tersebut membuat kami tidak berani menengok ke ranjang rawat lainnya. Masuk ke ruang ICU pun merupakan hal paling menakutkan karna yang saya inginkan hanya Ayah bisa sehat dan kami sekeluarga hidup bahagia selamanya. Begitu. Namun, takdir berkata lain..

Beberapa minggu Ayah dirawat di RS Siloam, dan tiap kali kami bertemu dengan Ayah, biasanya, Ayah sedang selesai solat. Entah dinamakan apa solat tersebut, pokoknya.. jika Ayah bangun dari tidurnya, Ayah langsung solat. Begitulah yang dikatakan oleh para Suster yang merawat Ayah. Mama saya adalah sosok yang paling setia mendampingi Ayah dimasa-masa kritisnya. Dan di RS ini jugalah kami menerima kenyataan pahit bahwa kondisi Ayah sulit untuk membaik. Detak jantung ayah selalu diatas standar, dan nafas beliau yang kurang teratur, buang air besar dengan raut wajah dan badan yang memerah layaknya orang yang sedang dibakar kobaran api, hingga pipis darah dan batuk darah yang tidak kunjung usai.

Banyak sekali teman-teman, sahabat dan saudara Ayah yang datang menjenguk untuk sekedar berbincang walaupun Ayah menanggapinnya hanya dengan kedipan mata dan menggerakan jempolnya. Hanya itu yang Ayah bisa lakukan. Saya sedih sekali saat itu, hingga saat ini juga, masih sedih mengingat Ayah yang begitu energiknya to do something sampai everything, namun Ayah saat itu hanya terbaring lemas. Semua yang menjenguk Ayah berusaha untuk tidak menangis didepan Ayah. Dan hal tersebutlah mungkin yang menjadi semangat Ayah untuk tetap bertahan hidup (walau untuk sementara waktu).

Hari demi hari pun Ayah lewati tanpa meninggalkan Shalat. Tiap waktu shalat tiba, Ayah selalu memencet tombol yang ada didekat jemari Ayah untuk meminta tolong pada Suster untuk membenarkan posisi Ayah agar nyaman saat shalat. Ayah memang orang yang luar biasa! Ayahku hebat dalam segala hal! Saat sakitpun, Ayah tidak pernah meninggalkan shalatnya. Salut! Aku harus tetap istiqamah dijalan Allah ya berarti agar seperti Ayah.

Aku selalu bercerita pada Ayah bahwa aku resmi menjadi seorang mahasiswi, dan walau begitu aku berkata pada Ayah bahwa aku sangat menyesal tidak lulus seleksi ujian masuk di perguruan tinggi negeri impian, yaitu Universitas Indonesia. Apalah daya, siswa dari luar wilayah:') *masih membela diri:(

Ayah ku bawakan mp3 berisi lagu-lagu favorit Ayah dan beberapa bacaan Al-Qur'an. Ayah sangat have fun dengan adanya mp3 tersebut. Aku senang jika Ayah senang.


Pada H-2 Ayah wafat, Mama menelan kenyataan bahwa Ayah tidak bangun dari tidurnya, dan badan Ayah mulai mendingin, tidak ada respon lagi ketika Mama bercerita pada Ayah. Respon Ayah hanya sentuhan jemari pada tangan Mama yang artinya adalah: Ma, Ayah sayang sekali. Cinta sama Mama. - yak begitulah kurang lebihnya mohon maaf kami beserta kru yang bertugas pamit undur diri. *eh eh bukan. Namun dengan kondisi Ayah yang seperti ini, mama tetap positive thinking bahwa Ayah pasti bisa sehat. Kami juga berpositive thinking.

H-1 Ayah wafat.. Air mata Ayah tidak berhenti menetes acap kali Mama menggenggam tangan Ayah dan berbicara dengan Ayah. Ayah terus menangis kecil namun air mata beliau tidak berhenti. Mama panik, namun tetap berpikir positif bahwa Allah SWT pasti mendengar doa kami agar Ayah memang akan benar-benar sehat.

Hari H Ayah wafat.. saat itu hari Jum'at. Sedari pagi, mama hanya mengirim pesan pada saya bahwa Ayah sedang kritis dan memohon doa yang sebesar-besarnya agar Ayah melewati masa kritisnya dengan hasil yang memuaskan yaitu Ayah sehat wal Afiat. Namun rupanya, hal tersebut tidak terjadi. Kondisi Ayah semakin memburuk kala waktu berjalan menuju senja. Monitor detak jantung menunjukkan bahwa grafik detak jantung Ayah semakin tidak karuan. Sorenya, saya dan adik-adik bergegas ke Rumah Sakit dan ternyata, sudah ramai disekitar ranjang rawat Ayah. Terlihat dimonitor grafik, yang tadinya ada 3 detak, kini.. tersisa 1. Saat itu pukul 18.47 jika saya tidak salah ingat..... Dan saat kami para anak beliau sampai didekat dan memegang tangan Ayah, tak kurang dari 5 menit. Ayah wafat. Kami pun sadar, ternyata, Ayah menunggu kedatangan kami untuk mengucapkan selamat tinggal dan menyuruh kami ikhlas menerima semua ini. Saya adalah anak yang paling -apa-apanya-dituruti- oleh Ayah, sontak kesal bercampur sedih dengan kepergian Ayah yang mendadak. Saya sedikit berteriak sambil menangis dan berkata, "Ayah gimana sih kok pergi duluan sebelum aku pergi? (langsung pilek). Katanya Ayah mau lihat aku wisuda S2! Katanya Ayah mau lihat aku menikah dengan pria yang sudah Ayah setujui. Katanya Ayah mau terus memberiku semangat dalam belajar. Katanya Ayah mau mengajariku bermain gitar. Katanya Ayah mau terus mengajariku bermain sulap. Katanya Ayah mau melihatku lancar berbahasa Inggris dan berbahasa asing lainnya. Ayah gimana sih? Ayaaaaaaaaaaaaaaah.."

Dan sudah bisa ditebak, hanya saya yang memukul-mukul ranjang rawat Ayah. Nenek saya (Ibunya Ayah), Mama, partner kerja Ayah, dan saudara-saudara kami menangis dan seperti sudah ikhlas. TETAPI SAYA BELUM IKHLAS. YA IYALAH SIAPA JUGA YANG CEPET BANGET IKHLASNYA KETIKA ORANGTUA TELAH DIPANGGIL YANG MAHA KUASA? SIAPA YANG CEPET BANGET SEDIHNYA ILANG? S I A P A ?!?!?!?

Ayah dimandikan oleh Adik saya dan saudara-saudara kandung Ayah yang tinggal di Jakarta. Dan saat itu juga banyak sekali teman kerja Ayah dan sahabat-sahabat Ayah datang untuk shalat Jenazah sebagai rasa hormat untuk terakhir kalinya. Ternyata, Ayah yang biasanya jadi Imam saat shalat.. kini.. berada di depan Imam saat shalat sedang dilaksanakan:( AKU SEDIH TAK KUASA MENAHAN AIR MATA. Eh sungguh lho ini, nggak bohong. Sungguh.

Sekitar kurang lebih 1 jam kemudian, kami semua bergegas membawa Ayah ke rumah untuk selanjutnya dimakamkan namun tidak pada malam itu juga ya. Kuburan serem. 

Keesokan harinya adalah hari Sabtu. Seperti suasana berduka pada umumnya, ribuan orang datang kerumah dan mengucapkan bela sungkawa sambil memberi sumbangan duka untuk kami. Barakaallah fii umrik semuanya:') Aamiin! Kami mensholati Ayah lagi di Masjid kesayangan ayah (re: Ayah ngefans dengan Masjid tersebut), lalu setelah itu kami menuju pemakaman.

Di pemakaman, pecahlah airmata kami semua. Tidak terkecuali teman-teman adik saya yang datang dipemakaman. So sweetnya mereka. Dan teman-teman kampus saya yang hingga saat ini saya lupa siapa saja ya orangnya....... karna saking tidak fokusnya saya saat itu. Ayo dong, ngaku. Siapa saja hayo.. siapa saja?

Sejak hari itu, saya selalu mendapat mimpi sedang bersama Ayah. Namun tidak ada pembicaraan diantara kami, tetapi.. didalam mimpi-mimpi saya tersebut.. memang ada Ayah. Ayah me lovin you to the moon *halah, bahasa inggris acakadul. Mohon maaf ya, Reader

Melihat kenyataan ini, sepertinya memang benar jika takdir kematian adalah sudah digariskan oleh Allah SWT. Dan memang benar pula, kita tidak bisa menyalahkan sepenuhnya smokers yang tidak pernah bisa berhenti untuk merokok. Saat ini sudah banyak sekali hasil akhir yang diterima smokers dan biasanya hasil akhir tersebut adalah hal terburuk yang pernah terjadi dihidupnya. Namun semoga semakin berjalannya waktu, di Indonesia smokers berkurang jumlahnya. Aamiin

Dan dengan ini, saya menjadi berfikir bahwa, sifat serba-bisa yang dimiliki oleh Ayah saya, membawa saya menjadi pribadi yang ingin serba-bisa juga. Dan jujur, jika disuruh memilih pria.. saya akan memilih yang setidaknya bersifat dan bersikap seperti Ayah. Ibadah sip dan motto hidupnya (kalau menurut saya, "Plan and Do"). Begitu.. hehe

Dan terima kasih PT. dimana Ayah bekerja.. karena telah mengcover semua biaya rawat inap Ayah saya & memberi pesangon kepada kami anggota keluarga yang ditinggalkan. Saya berjanji, suatu saat.. saya akan menjadi seperti Ayah. Yang setidaknya, bisa berpengaruh besar bagi perusahaan untuk beberapa kemajuan yang melebihi batas target yang ada. Saya ingin seperti Ayah saya dalam hal semangat menjalani rintangan apapun, saya ingin menjadi seperti Ayah saya yang serba-bisa, saya ingin menjadi seperti Ayah saya yang tidak bossy. Saya ingin sukses di dunia kerja seperti Ayah. Semoga tercapai. Aamiin

C I N T A I L A H  O R A N G  T U A M U  S E L A G I   A D A .

diandrasav

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar