Hukum Perjanjian

BAB I
Pendahuluan

Apakah yang dinamakan dengan perikatan? Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu. Pihak yang berhak menuntut sesuatu, dinamakan kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang berkewajiban memenuhi tuntutan dinamakan debitur atau si berutang. Perhubungan antara dua orang atau dua pihak tadi adalah suatu perhubungan hukum, yang berarti bahwa hak si berpiutang itu dijamin oleh hukum atau undang-undang. Apabila tuntutan itu tidak dipenuhi secara sukarela, si berpiutang dapat menuntutnya didepan hakim.

Suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. Perjanjian menerbitkan suatu perikatan antara dua orang yang membuatnya. Dengan demikian, hubungan antara perikatan dan perjanjian adalah bahwa perjanjian itu menerbitkan perikaan. Perjnajian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain. Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu.

Sumber-sumber yang tercakup dalam satu nama, yaitu undang-undang diperinci lagi. Dibedakan antara undang-undang saja, dengan undang-undang yang berhubungan dengan perbuatan orang, sedangkan yang terakhir ini diperinci pula, yaitu dibedakan antara perbuatan yang halal dan perbuatan melanggar hukum.

Kesimpulannya adalah bahwa perjanjian merupakan sumber perikatan yang terpenting. Perikatan adalah suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu hal yang konkrit atau suatu peristiwa. Kita tidak dapat melihat dengan mata kepala kita suatu perikatan. Kita hanya dapat membayangkannya dalam alam pikiran kita. Tetapi, kita dapat melihat atau membaca suatu perjanjian ataupun mendengarkan perkataan-perkataannya.

Perikatan yang lahir dari perjanjian, memang dikehendaki oleh dua orang atau dua pihak yang membuat suatu perjanjian, sedangkan perikatan yang lahir dari undang-undang diadakan oleh undang-undang diluar kemauan para pihak ynag bersangkutan. Apabila dua orang mengadakan suatu perjanjian, maka mereka bermaksud supaya antara mereka berlaku suatu perikatan hukum. Sungguh-sungguh mereka itu terikat satu sama lain karena janji yang telah mereka berikan. Tali perikatan ini barulah putus jikalau janji sudah dipenuhi.

Suatu kontrak atau perjanjian harus memenuhi syarat sahnya perjanjian, yaitu kata sepakat, kecakapan, hal tertentu dan suatu sebab yang halal, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. Dengan dipenuhinya 4 syarat sahnya perjanjian tersebut, maka suatu perjanjian menjadi sah dan mengikat secara hukum bagi para pihak yang membuatnya.

Prinsip yang berlaku dalam hukum jaminan adalah kreditur tidak dapat meminta suatu janji agar memiliki benda yang dijaminkan bagi pelunasan utang debitur kepada kreditur. Ratio dari ketentuan ini adalah untuk mencegah terjadinya ketidakadilan yang akan terjadi jika kreditur memiliki benda jaminan yang nilainya lebih besar dari jumlah utang debitur kepada kreditur.



BAB II
Teori dan Isi

A. Sistem Terbuka dan Asas Konsensualisme dalam Hukum Perjanjian

Dikatakan bahwa Hukum Benda mempunyai suatu sistem tertutup, sedangkan Hukum Perjanjian menganut sistem terbuka. Hukum Perjanjian memberi kebebasan yang seluas-luasnya pada masyarakat untuk mengadakan perjanjian yang berisi apa saja asalkan tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Pasal-pasal dari hukum perjanjian boleh disingkirkan manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Apabila mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal, itu berarti mereka mengenai soal tersebut akan tunduk kepada Undang-Undang.

Sistem terbuka yang mengandung suatu asas kebebasan membuat perjanjian, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata lazimnya disimpulkan dalam pasal 1338 ayat (1) yang berbunyi demikian:

“Semua perjanjian yg dibuat secara sah berlaku sebagai UU bagi mereka yg membuatnya"

Arti asas konsensualisme ialah pada dasarnya perjanjian dan perikatan yang timbul karenanya itu sudah dilahirkan sejak detik tercapainya kesepakatan.


B. Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian

Ada 4 syarat, yaitu:
  1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
  2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
  3. Mengenai suatu hal tertentu
  4. Suatu sebab yang halal

2 syarat yg pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena subyeknya yang mengadakan perjanjian. Sementara 2 syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu.

Menyangkut syarat ketiga: Barang yang dimaksudkan dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Misalnya, suatu perjanjian mengenai panen tembakau dari suatu ladang dalam tahun yang akan datang adalah sah, tetapi suatu perjanjian jual beli teh untuk seratus rupiah dengan tidak memakai penjelasan lebih terang lagi, harus dianggap tidak cukup jelas.

Bagaimana jika salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi?      

Dalam hal ini harus dibedakan antara syarat subyektif dan obyektif. Dalam hal syarat obyektif, apabila syarat itu tidak terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum. Artinya adalah dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim.

Dalam hal suatu syarat subyektif, jika syarat tersebut tidak terpenuhi, perjanjiannya bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan itu adalah pihak yang tidak cakap atau yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Jadi, perjanjian  yang telah dibuat itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan demikian, nasib suatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung pada kesediaan suatu pihak untuk menaatinya.

Yang dapat meminta pembatalan dalam hal seorang anak yang belum dewasa adalah anak itu sendiri apabila ia sudah dewasa atau orang tua atau walinya. Bahaya pembatalan itu mengancam selama 5 tahun (Pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata), jadi dibatasi juga oleh Undang-Undang. Tidak semua sesuatu dibatasi oleh Undang-Undang, namun hal tersebut demi untuk keamanan atau ketertiban hukum. Bahaya pembatalan yang mengancam dapat dihilangkan dengan pengautan oleh orang tua wali, atau pengampu tersebut.


C. Pelaksanaan suatu perjanjian

Suatu perjanjian merupakan suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu

Menilik macamnya hal yang dijanjikan untuk dilaksanakan, perjanjian-perjanjian tersebut dibagi dalam tiga macam, yaitu:
  1. Perjanjian untuk memberi atau menyerahkan suatu barang
  2. Perjanjian untuk berbuat sesuatu
  3. Perjanjian untuk tidak berbuat sesuatu
Hal yang harus dilaksanakan itu dinamakan prestasi.

  • Contoh perjanjian macam pertama adalah:
    • Jual-beli
    • Tukar-menukar
    • Penghibahan
    • Sewa-menyewa
    • Pinjam-pakai, dan lain-lain.


  • Contoh perjanjian macam kedua yaitu:
    • Perjanjian untuk tidak mendirikan tembok
    • Perjanjian untuk tidak mendirikan suatu perusahaan yang sejenis dengan kepunyaan orang lain tersebut, dan sebagainya.
Suatu persoalan dalam Hukum Perjanjian ialah..
Apakah jika si debitur tidak menetapi janjinya, si kreditur dapat mewujudkan sendiri prestasi yang dijanjikan itu?

Artinya adalah apakah si berpiutang dapat dikuasakan oleh hakim untuk mewujudkan atau merealisasikan sendiri apa yang menjadi haknya menurut perjanjian? Jika yang demikian itu mungkin, maka dikatakan perjanjian tadi dapat dieksekusikan secara riil. Meskipun selalu ada kemungkinan untuk mendapatkan suatu ganti rugi, tetapi apabila seseorang mendapat apa yang dijanjikan, itu adalah hal yan paling memuaskan. Suatu ganti rugi seolah-olah hanyalah suatu pengarem-arem saja. Maka, sesuatu yang dijanjikan dinamakan : prestasi primair. Sedangkan ganti rugi dinamakan prestasi subsidair (barang pengganti yang lebih berharga).


D. Risiko

Apakah yang dimaksud dengan risiko dalam Hukum Perjanjian?

Ialah kewajiban memikul kerugian yang disebabkan karena suatu kejadian diluar kesalahan salah satu pihak.
  • Barang yang diperjual-belikan musnah diperjalanan karena perahu yang mengangkutnya karam
  • Barang yang dipersewakan terbakar habis selama waktu dipersewakannya

Jadi, siapakah yg seharusnya memikul kerugian-kerugian tersebut? Inilah persoalan yg dinamakan risiko.


Persoalan risiko berpokok pangkal pada terjadinya suatu peristiwa diluar kesalahan salah satu pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain berpokok pangkal pada kejadian yang dalam Hukum Perjanjian dinamakan sebagai keadaan memaksa.

Bagaimana risiko diatur dalam Hukum Perjanjian? Dalam bagian umum Buku ke III Kitab Undang-Undang Hukum Perjanjian, sesungguhnya kita hanya dapat menemukan satu pasal yang sengaja mengatur soal risiko ini yaitu pada pasal 123 yang berbunyi:

"Dalam hal adanya perikatan untuk berikan suatu barang tertentu, maka barang itu semenjak perikatan dilahirkan adalah atas tanggungan si berpiutang"

Masalah risiko ini pernah dipersoalkan dalam suatu perkara yang diajukan dimuka Pengadilan Negeri Surabaya mengenai suatu perjanjian sewa beli mobil. Duduk perkaranya adalah sebagai berikut:

Sebuah toko mobil N.V. Handel Maatschappij L’Auto menggugat seseorang bernama Yordan untuk membayar lunas kekurangan cicilan atas harga sebuah mobil yang sudah disewa beli olehnya. Mobil tersebut telah dirampas oleh Tentara Jepang ketika Tentara itu mendarat di pulau Jawa. Yordan berpendirian, ia sudah tidak perlu membayar cicilan yang tersisa karena mobil tersebut dapat dianggap sebagai sudah musnah.

Pengadilan Negeri Surabaya dalam putusannya tanggal 5 Februari 1951 (Majalah Hukum tahun 1958 No. 7-8) membenarkan pendirian tergugat atas pertimbangan suatu perjanjian sewa dan menyatakan gugatan tidak dapat diterima.

Dalam tingkatan banding putusan Pengadilan Negeri tersebut diatas dibatalkan oleh Pengadilan Tinggi Surabaya, dengan putusannya tertanggal 30 Agustus 1956 atas pertimbangan bahwa perjanjian sewa beli itu adalah suatu jenis jual-beli.


Dalam tingkatan kasasi, permohonan kasasi dari tergugat terbanding (Yordan) ditolak oleh MA (putusan 16/12/1957), atas pertimbangan bahwa putusan perusahaan menurut isi perjanjian sewa beli resiko atas hilangnya barang karena keadaan memaksa dipikul oleh si penyewa beli adalah mengenai suatu kenyataan, maka keberatan pemohon kasasi tetang hal ini tidak dapat dipertimbangkan lebih jauh dan rinci oleh hakim kasasi. 


E. Bagian-Bagian Perjanjian

Suatu perjanjian terdiri dari tiga bagian. Beberapa literatur menyebut pembagian ini sebagai unsur-unsur perjanjian yaitu unsur essentialia, unsur naturalia dan unsur accidentalia.

Bagian Essentialia

Bagian ini merupakan bagian dari suatu perjanjian yang harus ada. Sehingga apabila bagian tersebut tidak ada, maka perjanjian tersebut bukanlah perjanjian yang dimaksud oleh pihak-pihak. Contoh:

  • Kata sepakat antara para pihak dan suatu hal tertentu. Sehingga tanpa keduanya maka tidak terdapat suatu perjanjian.
  • Barang dan harga barang yang harus ada pada perjanjian jual beli. Apabila isi dari perjanjian tersebut hanya meliputi barang dan tidak terdapat harga, maka perjanjian itu tidak dapat digolongkan sebagai jual-beli, melainkan memenuhi unsur tukar menukar.
Bagian Naturalia

Bagian ini merupakan bagian dari suatu perjanjian yang menurut sifatnya dianggap ada tanpa perlu diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Karena sifatnya tidak memaksa, maka para pihak berhak untuk menyimpangi ketentuan tersebut. Contoh bagian naturalia dapat ditemukan di dalam Pasal 1476 KUH Perdata yang menentukan bahwa:

Biaya penyerahan dipikul oleh si penjual, sedangkan biaya pengambilan dipikul oleh si pembeli, jika tidak telah diperjanjikan sebaliknya.

Bagian Accidentalia

Menurut Herlien Budiono, bagian accidentalia adalah bagian dari perjanjian yang merupakan ketentuan yang diperjanjikan secara khusus oleh para pihak. Contoh:

  • Mengenai jangka waktu pembayaran, pilihan domisili, pilihan hukum dan cara penyerahan barang


F. Asas-Asas Perjanjian

Menurut Herlien Budiono, ketiga asas perjanjian yang akan dijabarkan ini perlu ditambah dengan asas keseimbangan, sehingga lebih sesuai dengan keadaan di Indonesia.

Asas Konsensualisme

Suatu perjanjian harus ditegaskan dengan sumpah. Namun pada abad ke-13 pandangan tersebut telah dihapus oleh gereja. Kini, dengan adanya kata sepakat diantara para pihak, suatu perjanjian sudah memiliki kekuatan mengikat. Asas ini dapat ditemukan dalam Pasa; 1320 KUH Perdata yang mensyaratkan adanya kesepakatan sebagai syarat sahnya suatu perjanjian. Dalam perjanjian riil dan perjanjian formil yang mensyaratkan adanya penyerahan atau memenuhi bentuk tertentu yang disyaratkan oleh undang-undang.

Asas Kekuatan Mengikat

Asas ini dikenal dengan adagium pacta sunt servanda. Asas kekuatan mengikat dapat ditemukan dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata yang berbunyi:
"Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya."

Asas Kebebasan Berkontrak

Asas ini mengartikan bahwa setiap orang menurut kehendak bebasnya dapat membuat perjanjian dan mengikatkan diri dengan siapapun yang ia kehendaki. 

Asas Keseimbangan


"Suatu asas yang dimaksudkan untuk menyelaraskan pranata-pranata hukum dan asas-asas pokok hukum perjanjian yang dikenal didalam KUH Perdata yang berdasarkan pemikiran dan latar belakang individualisme pada satu pihak dan cara pikir bangsa Indonesia pada pihak lain."


G. Personalia Dalam Suatu Perjanjian

Personalia adalah tentang siapa-siapa yang tersangkut dalam suatu perjanjian. Menurut pasal 1315 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pada umumnya tidak ada seorangpun dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji, melainkan untuk dirinya sendiri. Asas tersebut dinamakan asas kepribadian suatu perjanjian. Mengikatkan diri, ditujukan pada memikul kewajiban-kewajiban atau menyanggupi melakukan sesuatu, sedangkan minta ditetapkannya suatu janji, ditujukan pada memperoleh hak-hak atas sesuatu atau dapat menuntut sesuatu.

Lazim suatu perjanjian adalah timbal balik atau bilateral. Artinya: Suatu pihak yang memperoleh hak-hak dari perjanjian itu juga menerima kewajiban-kewajiban yang merupakan kebalikannya dari hak-hak yang diperolehnya, dan sebaliknya suatu pihak yang memikul kewajiban-kewajiban juga memperoleh hak-hak yang dianggap sebagai kebalikannya kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepadanya itu.

A mengadakan suatu perjanjian dengan B. Dalam perjanjian itu ia minta diperjanjikan hak-hak bagi C, tanpa adanya kuasa dari si C ini. Dalam hubungan ini A dinamakan stipulator dan B dinamakan promissor.


H. Wanprestasi dan Akibat-Akibatnya

Wanprestasi seorang debitur dapat berupa 4 macam:

  • Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya
  • Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan
  • Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat
  • Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya
Hukuman bagi debitur yang lalai ada 4 macam:
  • Membayar kerugian yang diderita oleh kreditur atau dengan singkat dinamakan ganti-rugi
  • Pembatalan perjanjian
  • Peralihan risiko
  • Membayar biaya perkara

Ganti-rugi terdiri dari 3 unsur yaitu:
  1. Biaya (kosten) : segala pengeluaran atau pengongkosan yang secara nyata sudah dikeluarkan oleh satu pihak
  2. Rugi (schaden) : kerugian karena kerusakan barang-barang kepunyaan kreditur yang diakibatkan oleh kelalaian si debitur
  3. Bunga (interesten) : kerugian yang berupa kehilangan keuntungan, yang sudah dibayangkan atau dihitung oleh kreditur

Teori Adaequat

Suatu peristiwa dianggap sebagai akibat dari suatu peristiwa lain, apabila peristiwa dianggap sebagai akibat dari suatu peristiwa lain, apabila peristiwa yang pertama secara langsung diakibatkan oleh peristiwa yang kedua dan menurut pengalaman dalam masyarakat dapat diduga akan terjadi.



BAB III
Referensi

  1. Hukum Perjanjian Teori dan Analisa Kasus, Suharnoko, S.H.
  2. Hukum Perjanjian, Prof. Subekti, S.H.
  3. Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Herlien Budiono
  4. Hukum Perjanjian: Teori dan Analisa Kasus, Suharnoko
  5. Hukum Perjanjian: Perjanjian pada Umumnya, J. Satrio

diandrasav

Phasellus facilisis convallis metus, ut imperdiet augue auctor nec. Duis at velit id augue lobortis porta. Sed varius, enim accumsan aliquam tincidunt, tortor urna vulputate quam, eget finibus urna est in augue.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar