BAB I
Pendahuluan
Dengan semakin majunya teknologi dan makin meningkatnya
hubungan antar negara di dunia, maka di perlukan alat transportasi yang makin
memadai, terutama pengangkutan di laut dengan menggunakan kapal-kapal laut.
Karena sumber utama hukum laut kita masih menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum
Dagang Warisan Pemerintah Belanda, sedang untuk mengadakan hubungan hukum
dengan negara-negara lain di dunia ini, terutama dibidang perniagaan atau perdagangan
yang menggunakan pengangkutan di laut, maka diperlukanlah adanya ketentuan-ketentuan
internasional yang mengatur dan memelihara tertib-hubungan tersebut.
Negara Indonesia yang terdiri dari gabungan pulau-pulau
besar dan kecil mempunyai potensi yang sangat besar dalam menunjang
perekonomian negara. Bertitikpangkal pada kesadaran akan pentingnya pelabuhan
dengan usaha-usaha angkutan laut yang berhubungan itulah maka Pemerintah pada
tanggal 1968 mengambil suatu langkah yang menetapkan pokok-pokok kebijaksanaan
Pemerintah dalam bidang perhubungan laut yang meliputi 3 bidang:
- Dalam bidang Pelayaran
- Dalam bidang Pengurusan Kepelabuhan
- Dalam hal Pembiayaan
Suatu kenyataan bahwa negara Indonesia adalah negara
kepulauan dan dewasa ini kini telah bertekad bulat untuk melaksanakan wawasan
Nusantara seperti yang terdapat dalam TAP No. IV/MPR/1978, Bab II Sub. E, maka
untuk mencapai apa yang menjadi Wawasan Nusantara tersebut, maka kiranya
pengangkutan laut merupakan salah satu faktor yang utama.
BAB II
Teori dan Isi
A. Apakah yang dimaksud dengan Hukum?
Telah banyak sekali definisi hukum yang telah diumumkan atau
ditulis dan masih saja timbul definisi baru. Hukum tidak dapat didefinisikan
secara sempurna, sebab satu2nya hal yang tetap pada hukum ialah sifat “tidak
tetapnya isi” hukum itu. Jadi, hukum hanya mungkin didefinisikan menurut
bentuknya.
Karena bentuk hukum itu dapat ditinjau dari beberapa sudut,
maka dapat disimpulkan bahwa “Hukum adalah keseluruhan norma, yang oleh
penguasa negara atau penguasa masyarakat yang berwenang menetapkan hukum,
dinyatakan / dianggap sebagai peraturan yang mengikat bagi sebagian atau
seluruh anggota masyarakat, dengan tujuan untuk mengadakan suatu tata yang
dikehendaki oleh penguasa tersebut”.
Tujuan hukum biasanya disebut dengan kepastian hukum dan
keadilan. Singkatnya, tujuan hukum adalah untuk mengadakan suatu tata
yangdikehendaki oleh penguasa tersebut. Misal: Tata keadilan sosial, tata
tertib, tata keamanan, tata ekonomi, tata kesejahteraan sosial, dan lain-lain.
Negara RI mempunyai sistim hukumnya tersendiri yang terdiri
dari beberapa lapangan hukum, yaitu:
- Hukum Tata Negara
- Hukum Administrasi
- Hukum Pidana
- Hukum Perdata
- Hukum Acara
Sumber-sumber Hukum yaitu:
- Pancasila
- Peraturan Perundangan
- Hukum Kebiasaan
- Perjanjian Antar Negara
- Perjanjian Perseorangan
- Jurisprudensi
B. Apakah yang dimaksud dengan Hukum Dagang?
Telah kita ketahui bahwa hukum dagang terletak dalam lapangan hukum perikatan,
yang khusus timbul dari lapangan perusahaan. Perikatan-perikatan tersebut ada yang bersumber
dari perjanjian dan ada yang bersumber dari undang-undang.
- Yang bersumber dari perjanjian yaitu: pengangkutan, asuransi, jual-beli perusahaan, makelar, komisioner, wesel, cek, dan sebagainya
- Yang bersumber dr UU yaitu tubrukan kapal (pasal 534) dan lain-lain
Jadi, Hukum Dagang adalah hukum perikatan yang timbul khusus dari
lapangan perusahaan.
C. Dimana Hukum Dagang diatur?
- Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), sebagai kodifikasi;
- Peraturan-peraturan lain diluar kodifikasi, semisal:
- S. 1927 – 262, mengenai pengangkutan dengan kereta api (Bepalingen Vervoer Spoorwagen)
- S. 1939 – 100 jo 101, mengenai pengangkutan dengan kapal terbang dan perubahan-perubahan serta tambahan-tambahan selanjutnya
- S. 1941 – 101, mengenai perusahaan pertanggungan jiwa;
- PP No. 36 tahun 1948 tdntag Damri
- Undang-Undang No. 4 tahun 1959 tentang pos
D. Asal Usul KUHD
Berdasarkan pasal II Aturan Peralihan UUD RI 45, maka KUHD
masih berlaku di Indonesia. KUHD Indonesia diumumkan dengan publikasi tgl 30 April
1847 yang mulai berlaku pada tanggal 1 Mei 1848. KUHD hanya turunan belaka dari
“Wetboek van Koophandel”. Selanjutnya, "Wetboek van Koophandel” Belanda itu juga meneladan dari “Code du Commerce” Perancis 1808.
E. Persekutuan-Persekutuan Komanditer
Dasar pikiran pada pembentukan persekutuan-persekutuan ini: seorang atau lebih memercayakan uang atau barang untuk digunakan didalam perniagaan atau lain
perusahaan kepad seorang atau lebih lainnya yang menjalankan perusahaan tersebut dan karenanya pihak belakangan inilah saja yang pada umumnya berhubungan dengan pihak
ketiga. Segala sesuatu terjadi atas pembiayaan bersama. Karena itulah yang
bertanggung jawab sepenuhnya terhadap pihak-pihak ketiga adalah sekutu-sekutu yang menjalankan
perusahaan atas pembiayaan bersama tersebut.
Sebaiknya kita pegang teguh pada istilah mempercayakan modal
sebagai dipakai diatas, karena modal itu sekali-sekali tidaklah dipinjamkan kepada sekutu
komplementer.
F. Apakah KUHD hanya mengenal atau menghendaki persekutuan
komanditer secara diam-diam saja?
Polak (Jilid I (5) halaman 315) mengemukakan
kemungkinan bahwa kekuasaan pembuat Undang-Undang juga memikirkan akan persekutuan komanditer
yg terang-terangan dan menjelaskan pendapatnya dengan menunjuk antara lain pada pasal-pasal 21, 20
ayat (2) dan 32 KUHD. Dari pasal2 21 dan 20 ayat (2) dikemukakan perkataan-perkataan:
- Hutang-hutang dan perikatan-perikatan persekutuan;
- Urusan-urusan persekutuan
G. Hal-hal yang berhubungan dengan Pengangkutan Laut
Surat Muatan
Dokumen mempunyai arti penting, terutama dalam pengangkutan
barang adalah apa yang disebut sebagai Konosemen atau bill of lading. Baik konosemen
atau bill of lading inilah yg disebut sebagai surat muatan. Dalam hal konosemen itu
diterbitkan “atas pengganti” (aan order), maka si pemegang dapat mengalihkan
hak mengambil barang itu kepada orang lain; dan apabila konosemen itu
diterbitkan atas tunjuk (aantoonder) ini berarti, bahwa siapa saja yang memegang
konosemen dapat menuntut adanya penyerahan barang-barang itu. Apabila di dalam
konosemen itu disebutkan hanya “aan order” saja, maka itu berarti atas
pengganti pengirim barang.
Pada dasarnya konosemen mempunya sifat seperti surat
berharga, karena ia dapat diperdagangkan. Ketentuan sebagai demikian ini dapat kita
lihat di dalam pasal 507 KUHD. Bahwa konosemen yang dapat diperdagangkan atau
diperalihkan itu memberi hak kepada siapa saja yang memegang konosemen itu untuk kedepannya diserahkan barang-barang yang terdapat didalam konosemen.
Adapula kemungkinan terjadi,
bahwa apabila didalam perjanjian pengangkutan tidak khusus dimuat untuk menerbitkan konosemen, maka pihak pengirim harus mengembalikan surat penerimaan barang yang
mungkin telah ia terima dari pihak pengangkut sebelum konosemen dibuat.
Tentang Polis
Sepucuk akta yang sangat banyak
berpengaruh terhadap terjadinya perjanjian pertanggungan adalah yang disebut sebagai Polis.
Didalam KUHD tentang polis ini
ditentukan didalam pasal 255 KUHD yaitu:
“Pertanggungjawaban harus diadakan
secara tertulis dengan sepucuk akta yang bernama polis”.
Juga didalam perjanjian
pertanggungan dilaut polis itu mempunyai peranan penting seperti yang ditentukan
didalam pasal 592 KUHD.
Kewajiban Pengangkut
Pengangkut diwajibkan untuk menanggung semua kerusakan yang terjadi
atas barang-barang itu sendiri atau karena adanya keadaan memaksa (over macht) atau
karena adanya kesalahan dari pihak pengirim atau pemilik barang-barang itu sendiri maka diharuskan melaksanakan pengangkutan dengan baik dan harus menjaga agar
barang-barang diangkut dalam keadaan aman dan membawanya sampai di pelabuhan tujuan
dengan selamat.
Izin Usaha
Izin baru diberikan oleh Menteri untuk perusahaan-perusahaan pelayaran yang ditunjuk bilamana telah memenuhi beberapa syarat tergantung pada apakah usaha pelayaran tersebut tergolong. Ada dua golongan dalam Iizin usaha perusahaan pelayaran ini, yaitu:
- Dalam Negeri
- Luar Negeri
H. Wesel
Didalam cek, lembaga akseptasi itu tidak dikenal, karena
masa atau tenggang peredaran dari cek itu adalah singkat, tidak seperti pada
wesel.
Surat-surat berharga harus ditandatangani karena merupakan suatu
syarat mutlak untuk akta. Terbukti dari pasal 1889 BW; 1874 dan 1875 BW yaitu
bahwa suatu tulisan supaya dapat menjadi akta, haruslah ditandatangani.
Demikian pula dengan wesel, surat sanggup dan cek, syarat tanda-tangan ini secara tegas disebutkan dalam suatu pasal yaitu pasal yang memuat syarat-syarat yang formal harus ada pada sepucuk surat wesel yaitu pasal 100 sub 8 KUHD, untuk cek
yaitu didalam pasal 178 KUHD sub 6, dan pasal 174 sub 7 untuk surat sanggup.
Pembayaran wesel seharusnya terjadi pada hari gugur oleh akseptan
tersangkut. Tetapi apabila terjadi penolakan pembayaran maka pemegang mempergunakan
hak regresnya, yaitu menuntut pembayaran wesel itu kepada penghutang-penghutang wesel lainnya.
Penerbit & endos-endosan ini adalah penghutang-penghutang wesel yang berwajib regres,
artinya mereka itu barulah berwajib membayar wesel apabila terjadinya penolakan
pembayaran dari penghutang yang diperintahkan membayar seperti yang terlihat dalam
syarat formal pasal 100 sub 2. Regres yg dilakukan sebelum hari gugur ini,
terjadinya atau timbulnya bukanlah karena adanya penolakan pembayaran, tetapi karena atau berdasarkan kejadian lain yaitu karena penolakan akseptasi.
Undang-Undang memberikan suatu hak menuntut pembayaran pada pemegang yang dapat dipergunakannya terhadap penghutang-penghutang yang berwajib regres:
- Penerbit
- Endos-Endosan
- Avalis-Avalis atau Intervenien.
Tentang pembayaran surat wesel ini diatur didalam bagian ke 6
dr titel ke 6 Buku I yaitu dari pasal 137 sampai dengan pasal 140. Surat wesel itu adalah
suatu surat tagihan hutang yang memberikan hak kepada pemegangnya untuk menagih
tagihan yang terwujud didalamnya. Dengan adanya ketentuan-ketentuan mengenai saat-saat pembayaran didalam
pasal 137 & 133 maka tidaklah mungkin pembayaran itu langsung diminta sebelum
saat-saat tersebut. Dan tersangkut yang membayar sebelum hari gugu, membayar atau tanggung
jawab sendiri.
I. Surat Sanggup
Sistem Pengaturan Surat Sanggup
Sebagai hasil dari Konferensi Jenewa pada tahun 1930 mengenai wesel, yang juga mengatur tentang Surat Sanggup, pembentuk undang-undang di dalam KUHD menganut sistem "penunjukan" (sistem verwijzing) untuk mengatur surat sanggup. Kembali kita mengingat kepada keputusan yang diambil dalam Konferensi Jenewa tahun 1930, dimana diputuskan 2 cara mengenai pengiriman surat sanggup yang diserahkan kepada negara-negara peserta Konferensi untuk memakai cara yang mana diantara 2 cara tersebut. Surat sanggup didalam KUHP diatur didalam bagian ke 13 dari titel 6 Buku I.
Surat Aksep
Surat sanggup dikenal juga dengan istilah lain yaitu promesse atas pengganti. Akan tetapi didalam praktek untuk surat sanggup juga dipakai istilah lain yang disebut: Aksep.
Aksep sebetulnya ialah dari perkataan accept yang berarti "menerima". Lebih lanjut perkataan itu dipakai dalam hukum wesel dalam lembaga akseptasi. Jadi, aksepteren atau mengaksep berarti "menerima kewajiban untuk membayar" pada hari gugur atau dengan kata lain menyanggupi untuk membayar pada hari gugur.
Aksep berintikan sebagai suatu akseptasi pada wesel, maka sebutan aksep yang dipakai untuk surat sangup dalam praktek adalah tidak menyimpang dari sifat surat sanggup dimana penerbitnya "menerima suatu kewajiban untuk membayar" pada hari gugur, yang berarti juga "berjanji sanggup membayar" pada hari gugur.
J. Dimanakah letak Hukum Dagang dalam ruang lingkup Hukum Perdata?
Letak Hukum Dagang dalam ruang lingkup Hukum Perdata ialah dalam Hukum Perikatan yang menjadi bagian dari Hukum Harta Kekayaan selain Hukum Kebendaannya. Hukum Dagang digolongkan dalam bagian Hukum Perikatan dan bukan dalam Hukum Kebendaan karena:
Sistem Pengaturan Surat Sanggup
Sebagai hasil dari Konferensi Jenewa pada tahun 1930 mengenai wesel, yang juga mengatur tentang Surat Sanggup, pembentuk undang-undang di dalam KUHD menganut sistem "penunjukan" (sistem verwijzing) untuk mengatur surat sanggup. Kembali kita mengingat kepada keputusan yang diambil dalam Konferensi Jenewa tahun 1930, dimana diputuskan 2 cara mengenai pengiriman surat sanggup yang diserahkan kepada negara-negara peserta Konferensi untuk memakai cara yang mana diantara 2 cara tersebut. Surat sanggup didalam KUHP diatur didalam bagian ke 13 dari titel 6 Buku I.
Surat Aksep
Surat sanggup dikenal juga dengan istilah lain yaitu promesse atas pengganti. Akan tetapi didalam praktek untuk surat sanggup juga dipakai istilah lain yang disebut: Aksep.
Aksep sebetulnya ialah dari perkataan accept yang berarti "menerima". Lebih lanjut perkataan itu dipakai dalam hukum wesel dalam lembaga akseptasi. Jadi, aksepteren atau mengaksep berarti "menerima kewajiban untuk membayar" pada hari gugur atau dengan kata lain menyanggupi untuk membayar pada hari gugur.
Aksep berintikan sebagai suatu akseptasi pada wesel, maka sebutan aksep yang dipakai untuk surat sangup dalam praktek adalah tidak menyimpang dari sifat surat sanggup dimana penerbitnya "menerima suatu kewajiban untuk membayar" pada hari gugur, yang berarti juga "berjanji sanggup membayar" pada hari gugur.
J. Dimanakah letak Hukum Dagang dalam ruang lingkup Hukum Perdata?
Letak Hukum Dagang dalam ruang lingkup Hukum Perdata ialah dalam Hukum Perikatan yang menjadi bagian dari Hukum Harta Kekayaan selain Hukum Kebendaannya. Hukum Dagang digolongkan dalam bagian Hukum Perikatan dan bukan dalam Hukum Kebendaan karena:
- Hukum Dagang mengatur para pihak untuk bertindak dalam urusan-urusan dagang. Jadi yang utama diatur dalam Hukum Dagang ialah tindakan manusianya berdasarkan suatu keadaan tertentu pada waktu tertentu dan dalam syarat-syarat yang tertentu pula
- Hukum Dagang mengatur hak dan kewajiban antarpihak yang bersangkutan
K. Apakah dengan demikian berarti bahwa seluruh bagian dari Hukum Dagang adalah Hukum Perikatan?
Tidak seluruhnya, melainkan sebagian besarnya saja karena disamping memuat perikatan-perikatan antarpihak, Hukum Dagang pasti masih memuat sedikit banyak hal-hal tentang benda-benda yang berkenaan dengan hal perikatan itu.
L. Dimana sajakah ketentuan-ketentuan Hukum Dagang diatur?
Ketentuan-ketentuan Hukum Dagang diatur:
- Didalam KUHD, termasuk didalamnya Peraturan Kepailitan
- Diluar KUHD sebagai peraturan-peraturan lepas, seperti:
- Undang-undang Perkeretaapian
- Undang-undang/Peraturan tentang Pengangkutan Laut
- Undang-undang/Peraturan tentang Pengangkutan Udara, dan sebagainya
- Didalam kebiasaan-kebiasaan, doktrin-doktrin dan berbagai yurisprudensi yang timbul dan terpelihara dalam pelaksanaan hukum sehari-hari baik secara nasional maupun internasional
- Dalam KUHPer
BAB III
Referensi
Referensi
- Hukum Dagang Indonesia (Jilid I Bagian Kedua), Prof. Soekardono, S.H.
- Hukum Dagang Surat-Surat Berharga, Prof. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, S.H.
- Beberapa Aspek Hukum Dagang di Indonesia dalam Perkembangan, Prof. Ny. Emmy Pangaribuan Simanjuntak, S.H.
- Hukum Dagang, Wiwoho Soedjono, S.H.
- Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia (Pengetahuan Dasar Hukum Dagang), H.M.N. Purwosutjipto, S.H.
- Hukum Dagang I & II, Soerjatin R.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar